Jumat, 31 Oktober 2014

Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa

Karya : Alm. W.S. Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.


"aku tulis ulang sajak ini karna senang akan alurnya. dan seperti memberi pesan kepadaku dikala nanti aku menua, harus selalu menanamkan rasa yang abadi pada teman hidupku nanti".

Do'a seorang serdadu sebelum berperang

Karya : Alm. W.S Rendra


Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

"aku menulis ulang puisi ini karna melihat realita yang ada zaman ini. dimana tunas-tunas tumbuh bebas tanpa pupuk serta kering tak tersiram" 

Rabu, 08 Oktober 2014

Pendakian Mt.Papandayan

Assalamu’alaikum wr.wb.

            Kali ini aku akan menyusun kalimat demi kalimat untuk sekedar menumpahkan sebagian kecil langkah ku dalam mengarungi ranah-ranah indah di Indonesia.

            Mt. Papandayan, Garut, Jawa Barat, akan menjadi pesona dalam kalimatku ini. Sudah begitu lama, sejak aku mulai mencintai alam, tempat itu ingin ku saba dengan kawan-kawan. Rencana pun disusun oleh Ferdyanto Saputra, Hudzaifah Abdurrahman(Ade), Antonius Dwi, Dian Prasetya, Dimas Prasetya, Fajar Aditya, Dan aku Doddi Eka Permana.




            Dimulai dari hari jum’at sore aku sepakat bertemu di terminal Kp. Rambutan, Jakarta. dan kami pun mengisi perut sejenak dengan hidangan setempat, untuk perjalanan yang lumayan jauh. Setelah kami mengisi perut, lalu kami mencari sebuah Bus antar kota. Lalu tak lama.. naiklah kami ke dalam Bus tersebut. Singkat cerita, sampailah kami di Terminal guntur, Garut sekitar jam 05.15. lalu kami memesan segelas kopi dahulu untuk menghangatkan badan. Setelah kopi telah habis, kami pun lanjut menaiki angkutan umum ke arah desa terakhir di kaki gunung. Setelah sampai, kami pun sarapan pagi dahulu dengan hidangan yang murah tapi berisi padat, dan sesudahnya kami pun menghisap rokok, yang menjadi primadona di cuaca kota Garut. Lalu kami lanjutkan perjalanan ke pos pendaftaran Mt.Papandayan.

            Sesaimpainya di pos pendaftaran, Ferdy langsung mengurus biaya pendaftaran(simaksi) dan seingatku biayanya Rp.4000 untuk 1 orang. Setelah selesai, kami pun menyiapkan diri dahulu. Jangan pernah lupa dengan do’a sebelum kau melangkah. Medan yang kami temui pertama-tama adalah bebatuan terjal dan kepulan asap belerang, yang sesekali menurunkan rintik air yang membuat pedih mata. Kami pun beristirahat sejenak setelah melewati medan tersebut. Hamparan hijau berselimut kabut, lalu udara yang tak biasa, bisa kau rasakan. Kami pun lanjut berjalan, dan... tak ada medan yang terlalu sulit kami temui, hanya pepohonan dan semak belukar. Tak lama kemudian, kami di hadapkan dengan medan menanjak yang licin, karna waktu itu sedang musim hujan. Setelah melewati medan menanjak, lalu batu-batuan terjal dan licin berganti menghiasi jalan kami. Lalu... tak lama kemudian, kami sampai di pos 2 untuk memberikan surat pendakian kepada penjaga yang kami panggil “mamang”. Ia sangat sopan dan baik. Kami pun di berikan teh hangat untuk menghangatkan badan sejenak.  Lalu.. kami lanjutkan perjalanan dengan medan tanah yang becek. Sampailah kami di tempat perkemahan “Pondok Salada” setelah mendirikan tenda, kami menghisap rokok, kami membuat kopi, kami berbincang-bincang dan tertawa untuk melepaskan lelah kami. Malam pun datang dengan segala riuhnya. Dan angin terdengar seperti tak biasanya. Lalu kami tidur dengan pulas.









            Lalu pagi pun datang dengan malu nya. Kami pun berjalan mengelilingi pondok salada ini untuk melihat bunga abadi yaitu Edelweiss. Setelah kami sarapan, kami pun mulai melanjutkan perjalanan dengan tenda kami tinggalkan, karena disarankan untuk membawa barang secukupnya saja. Tak lama kami berjalan, kami menemukan pemandangan yang begitu jarang kami temui. Itulah “Hutan Mati” menyajikan pemandanggan yang membuat rasa lelah pun hilang sejenak. Lalu kami lanjutkan perjalanan. Dan... medan menanjak mulai sering di temui. Ada satu medan menanjak yang bernama “Tanjakan Mamang” dan itu aku perkirakan dengan kemiringan hampir 70 derajat, dan di untungkan dengan adanya akar-akar menjalar, jadi kami bisa berpegangan akar tersebut. Setelah melewati tanjakan mamang, 5 menit kami berjalan, sampailah kami di “Tega Alun” disana kau bisa temukan pemandangan yang sangat indah. Hamparan bunga Edelweiss dan air yang mengalir di rerumputan menjadi tujuan Akhir perjalan kami.









Sekian tulisan ini aku buat, semoga bermanfaat..